He Hates Dating Scenes

That's why I hate dating scene so much....

Dua hari yang lalu, sekelompok homo berkumpul di IP untuk makan malam. Salah satu anggota kebetulan dapat kunjungan tamu "bul-bul" ( istilah buat orang bule ) dan semua menjadi penasaran.

"Orang Belgia. Kerja di pelayaran. Baru putus sama partnernya setelah hidup bersama hampir 10 taun," demikian dapat bocoran dari si sumber berita.

"Sekarang hidup berpindah-pindah dari negara satu ke negara lain." 

" Terakhir, kabarnya tinggal di Philipina, " lanjut sang sumber berita.

" Berarti masih single, dong...," kejar yang lain.

Si sumber berita terdiam. Setelah sempat ragu-ragu sejenak, akhirnya ia bilang dengan lemas, "Kayanya gitu, deh."

"Asyik. Berarti ada lowongan, nih pacaran lagi sama bul-bul. Kenalin, ya?" Pinta salah satu anggota sambil maksa.

Sangat antusias. Orang yang satu ini memang terkenal racist. Pemburu yang mendedikasikan dirinya untuk menghabiskan semua ras burung bul-bul. Unggas jenis ayam kampung, kurang telaten dia, alias kurang semangatlah dia.

Dan kali ini, dia terlalu antusias sehingga menciptakan riak di permukaan air danau.

Walaupun cuma sekilas, Nei, yakin dia melihat ada perubahan raut wajah dari sang sumber berita. Jelas sekali dia tidak suka dengan ide itu. Siapa tau, sebenarnya sang sumber berita itu sendiri ada hati sama si Belgia. Tapi rupanya anggota yang satu ini tidak menyadarinya. Jika dibiarkan terus, riak kecil bisa menjelma jadi ombak. 

Untuk mencegah itu Nei sengaja mengalihkan pembicaraan dengan mengusulkan agar gerombolan homo itu pindah ke PVJ dengan jalan kaki saja. Tentu saja usulan itu menggundang argumen dan protes tak cuma dari satu orang. Biarlah. Yang penting jangan sampai gara-gara burung bul-bul yang nga jelas itu sampai berantem. Malu, kan?

Singkatnya disepakati dinner keroyokan bersama "bul-bul" di PVJ.

Singkatnya juga, sang bul-bul datang. Tidak sendiri tapi berdua.

Nei mengecek wajah sang sumber berita. Rada pucat.

Nei Mengecek juga wajah sang pemburu antusias. Kaga pucat emang. Cuma tampak kurang bergairah. Tidak tahu kemana perginya rasa antusias yang sempat memciptakan riak di permukaan air danau.

"Tuirrr...banget," Nei mendengar seseorang berbisik.  

Tanpa sadar Nei menggangguk mengiyakan. Untuk orang bule berumur 50 tahun, si Gino ( nama si Belgia itu ) keliahatan seperti seorang kakek berusia 70-an.

Dari pembicaraan selama dinner, Nei merasa, Gino termasuk aki-aki yang sangat ramah. Sangat terus terang. Lagi cari partner emang dia, untuk diajak hidup bersama. Dia tidak suka keramaian, Tidak kaya karena tabungannya sebagian besar habis oleh mantan pacar yang suka berfoya-foya. Tapi menurut pengakuaanya, cukuplah buat hidup pensiun tanpa harus menjadi miskin. Jika dia mati, tambahnya, warisan rumah di Belgia akan di atas namakan pacarnya.  

Siapa yang berminat?

Si sumber berita sekarang kaga pucat lagi, tapi dengan tegas dia menolak.

"Cari pacar ato cari perawat? Bagaimana kalo Gino-suarusnya kaga mati-mati, giman hayoo?"

Sang pemburu berkomentar, " tampang --- sub standar amat." 

Kemudian menambahkan sambil mencari pembenaran dari yang lain, " Tampang bolehlah jelek tapi musti dong didukung dengan uang.  'Tul kan?  Biar jelek, masih mau saya kalau dia punya uang."

Jadi memang benarlah tampang dan wujud fisiklah yang menjadi patokan utama. Sempurnalah dia kalau sipemilik tampang juga dibekali harta. Kurang salah satunya, kurang sempurna. Tampang tanpa uang masih bisa mendapatkan cinta ala Cinderella. Si buruk rupa punya uang bisa membeli cinta.

Tidak punya dua-duanya. Malang benarlah nasibmu, Nak. 

Dan malam itu Nei merasa ingin memuntahkan seluruh isi perutnya mendengar pembicaraan kelompok homo tersebut. Dia merasa terasing.. Dia merasa seolah-olah dia-lah sang Gino-saurus, yang menjadi topik pembicaraan mereka malam itu. Tidak saat ini, tapi  10 tahun mendatang, dua puluh tahun mendatang. 

Lebih sakit lagi karena dia terpaksa mengakui adanya kebenaran yang sulit dipahaminya . Kita tidak bisa melepaskan diri dari penilaian orang lain berdasarkan tampang dan harta, dan untuk itulah, why he hates dating scene so much.....

1 Response to "He Hates Dating Scenes"

Farrel Fortunatus mengatakan...

biarkan mereka berpendapat, karena mereka punya hak untuk itu. sama seperti kita yang punya hak untuk tidak mempedulikan pendapat mereka dan tetap menjalani hidup sesuai dengan keinginan kita.