Alkisah terdapatlah seorang ulama keturunan langsung dari sultan Mataram bernama Eyang Abdul Manaf, berkelana menuntut ilmu ke Mekah di abad ke 15. Sepulangnya dari tanah suci, tidak diketahui alasan dia kemudian menolak untuk kembali ke Mataram. Sebaliknya dia memilih untuk menetap di daerah rawa angker yang terletak di kelilingi sungai Citarum untuk melakukan syiar Islam bersama sejumlah santrinya.
Dengan kesaktiannya, segenggam tanah yang dibawanya dari tanah suci ditebar ditengah rawa. Dan munculnya asal mula kampung Mahmud yang kita kenal seperti sekarang. Namun ada beberapa pantangannya yang harus dipatuhi oleh keturunan Sang Eyang Abdul Manaf agar kelangsungan hidup kampung Mahmud bisa tetap harmonis selaras alam dan nilai kehidupan yang diajarkannya dapat terus bergaung.
Untuk mengetahui secara langsung bagaimana keadaan kampung Mahmud itu pada saat sekarang, Nei, Sabtu kemarin mencoba mengunjungi kampung tersebut. Cerita mistis romantik asal mula kampung tersebut hampir sudah tidak meninggalkan bekas.
Oke. Terlalu berlebihan kalau dibilang tidak meninggalkan bekas. Tapi saat berada di sana, Nei merasa kecewa karena tidak berhasil menemukan rumah panggung yang menjadi ciri khas kampung Mahmud. Hampir semua rumah di sana telah dibangun semi permanen. Pondasi rumah sudah cukup modern dengan dinding rumah terbuat ayaman bambu ada di sepanjang kiri kanan jalan.( note : pantangan untuk saling menonjolkan diri dan mendirikan rumah dengan pondasi selain dari bambu sepertinya sudah tidak dipatuhi lagi? )
Selain berfungsi sebagai tempat penyiaran agama Islam di sekeliling kota Bandung, awalnya kampung Mahmud juga berfungsi sebagai tempat persembunyian dari ancaman penjajah. Untuk itu dibuatlah pantangan untuk tidak boleh memelihara ternak seperti kambing dan bebek serta tidak diperbolehkan membunyikan beduk dan gong di kampung tersebut.
Namun siang tersebut ketika melewat depan gerbang Mesjid, Nei melihat beberapa ekor ayam berkeliaran di pekarangan rumah. Apakah hal itu juga berarti larangan berternak juga sudah tidak berlaku lagi di sini? ( sigh )
Ada satu hal yang patut dicatat di sini, ( liat gambar 1 di atas ) diujung kampung terdapat sebuah jalan setapak kecil yang membelah sungai Citarum? ( kemungkinan besar tambak) dan ada kisah lain mengenai sungai tersebut yang kemudian membuat kampung Mahmud penuh mistis.
Menurut kepercayaan penduduk sana, selama ini kampung Mahmud tidak pernah mengalami banjir walau pun tepat berada di pinggiran sungai Citarum. Hal ini karena kampung Mahmud dilindungi oleh makhluk gaib berkepala manusia tapi berbadan ular bersisik emas. Mahluk berwajah ganteng ini kadang-kadang menampakkan dirinya kepada orang tertentu untuk menwujudkan permintaan. Mungkinkah ular gaib dari kampung Mahmud merupakan salah satu keturunan dari Nyi Blorong dari tanah Jawa?
Hm...banyak sekali pertanyaan yang berkecambuk di benak Nei sepulangnya dari kunjungannya di kampung Mahmud. Jika ada yang mengetahui lebih jelas tentang asal mula kampung Mahmud dan cerita-cerita mistis yang mengelilingi kampung tersebut, silakan bagi info di koment, oke?
Sebelum lupa, Sang Eyang Adbul Manaf oleh penduduk setempat disebut sebagai Eyang Mahmud atau Eyang Haji. Dari situlah nama kampung itu berasal
0 Response to "Kampung Mahmud : The Vanishing Kampoong"
Posting Komentar